Hal-hal sepele membuat kesempurnaan, dan kesempurnaan bukanlah hal sepele

Friday, October 15, 2010

NERACA

Rosalia Dini Ristikaningrum
sebuah telaga yang tetap bening
yang mampu menerima aneka warna air
dari sejuta anak sungai
tanpa menjadi keruh
Di perbatasan Desember - Januari ini,
sebuah hati memaksaku
memikirkan relasi akrab kita

Bahwa mata insaniku melihat manis
sosok penampilanmu
Aku tak menyangkalnya
tapi mata hatiku lebih melihat manis sosok Yesus
Bahwa hati insaniku
merasakan kehangatan kehadiranmu
Aku tak mengingkarinya
tapi hati jiwaku lebih merasakan
kehangatan kasih-Nya
Bahwa jiwa insaniku menikmati
kelembutan perhatianmu
Aku tak menyangsikannya
tapi jiwa ilahiku lebih menikmati
kelembutan kebaikan-Nya

Tak hendak aku membandingkan dirimu yang telah membuat hari-hariku bagai di taman bunga
dengan sosok Yesus yang telah membuat aku mampu dengan sadar menerima diriku ada di taman bunga
Tak bermaksud aku membandingkan dirimu yang telah memberi banyak inspirasi dalam hidupku
dengan sosok Yesus yang telah memberi aku mampu dengan rendah hati menerima inspirasi itu
Tak ingin aku membandingkan dirimu yang bagiku lambang kejujuran dan keceriaan
dengan sosok Yesus
yang bagiku sumber dari segala lambang yang ada

Tak mau aku melakukan pembandingan ini
karna kau memang bukan bandingan-Nya
Kau punya arti bagi hidupku,
ku mau kau tahu itu
Kau sisi lain dari Yesus sendiri,
ku mau kau menyadari itu

Ku ingin mencintaimu dengan cinta Yesus sendiri
Ku ingin mengasihimu seperti Yesus telah melakukan-Nya selama ini padaku

Bersamamu .......
ku ingin meraih cita-cita hidup kita masing-masing
Bersamamu ........
kuberharap hari-hari kita
dipenuhi oleh Roh Kudus Allah
Bersamamu kuberangan kita sungguh mampu memerankan diri
sebagai anak dan saksi kebaikan-Nya

Alia, tak ada yang pernah bisa menggantikanmu.
Ku mau kau tetap yakin akan hal itu !

DERMAGA

Rosalia Dini Ristikaningrum,
sebuah neraca di celah-celah rindu dan dendam
ini tulisanku yang kesekian kali
untukmu dan untuk melepas kuk
yang terpasang di antara kepala dan kaki-kakiku
yang menjadi saudara
dalam penggembaraan panjang ini.

Saat aku sampai di dermaga ini
langit merona tembaga
ribuan camar berebut cium
tubuh ayu samudera
sesekali terdengar ceriapnya
memberi kesan dunia bahagia
sementara itu.......
anganku melayang jauh
jauh dan jauh
melewati awan tipis yang berserakan
melampui jauhnya mata memandang


Di dermaga ini
sekian tahun yang terlewat
ruang inkarnasi terbentuk
berdinding kerelaan
berwarna kehangatan cinta
berlantai percaya dan asa
beratap kurban dan doa

Dermaga ini
penghulu bersatunya dua hati
yang menjanji tak akan bersama lagi
Hangat nafasmu
masih terasa disela-sela daun pendengaranku
cempaka baumu
masih menempel pada aura kehidupanku
keyakinan hatimu menguat lewat matamu
persis berkas tembaga senja
dan saat gelora pasang
bersandar pada jendela dunia itu
bual banjir
bercampur dingin
ada kecup tulus di bibir
ada hujan tubuhmu
ada lambaian kepedihan
dan.......

Di dermaga ini
sekian tahun kemudian
haruskah ruang inkarnasi itu berantakan ?
haruskah hancur oleh kesunyian hati ?
dan kesunyian jiwa ?
dan tiadanya warna merah membalur wajah ?
haruskah berakhir dengan kerinduan yang tak tertahankan ?

Kakiku masih tertancap erat
di tubuh pertiwi
dan helai mantol putih
masih melekati kulitku
Sayup kudengar suara hatimu
membisik nyaris hilang
'tak usah kembali
bila bara cinta itu masih berkobar !'

Sementara........
air berlomba menyapa tubuhku
dan senja bertanding membalut jiwa
kutekuk kakiku menyebut penggal nama itu
sambil menepuk dada tiga kali !

SEBONGKAH HATI

Rosalia Dini Marianingrum
Sebuah bintang fajar
yang amat setia dalam perjalanan
meraih mahkota surgawi
Ia keheningan sebuah pagi
yang belum terjamah oleh derit timba
dan riuh kokok ayam jantan
Ini entah kali ke berapa
aku kirimi kau dialog hati dan budi
selama aku jauh dari pandangan insanimu….

Sore itu
ada kerumunan sejuta manusia
aku tak tahu alasan terbentuk kerumunan itu
dan aku tak pernah mau tahu
Tapi saat kaki hendak menyeret raga
tuk tinggalkan semua itu
ada pijar di langit
jatuh di tengah samudera manusia
Batin beningku berucap
ada kiriman sesuatu dari Yang Ilahi
Secepat orang mengambil nafas
setelah ia menghembuskannya
kudekati pijar indah itu
Aku tak pernah menyangka
bahwa pijar itu sebongkah hati
yang menyimpan seribu keprihatinan dunia
yang membawa tangis dan suka cita semesta

Setiap dari yang memandangnya
tergoda untuk memilikinya
tapi karna nafsu tak teratur itu
tiada tangan mampu meraihnya
bahkan tiada daya tuk gerakkan semua itu

Aku mendesak maju
meraih setiap kecemasan nafsu yang ingin memilikinya
Kupandangi bongkahan itu
memancarkan warna lembut
dan pesona yang membuat hati nuraniku
bagai teriris-iris
Ku sujud di hadapanNya
kusatukan tanganku
kutarik seluruh nafas ilahiku
Sementara tanganku mulai mencoba meraihnya
batinku berucap nyaring
Penguasa Semesta.....
yang hanya memiliki satu cinta
terima kasih atas semua ini
Bongkah hati itu
kini ada dalam dekapan rasa sayangku
rasa sayang seperti milik ibuku
kini ada dalam dada kasihku
yang sehangat milik Anak Penguasa yang mengasihiku
Bergetar jiwaku karenanya
sebuah getar suka cita
mirip suka cita Yusuf
ketika dikeluarkan dari sumur kering
Suka cita yang terbalut rasa cemas ilahi

Sesaat aku melangkah
tuk berdiri digundukan bumi yang paling menonjol
Wahai manusia yang ada di sekitarku
arahkan mata batinmu
arahkan budi hatimu
berikan padaku telinga-telingamu
berikan padaku alat pengecapmu
Hari ini Penguasa Semesta
yang hanya terdiri atas cinta
berkenan memberi kita sebongkah hati Ilahi-Nya
Apa pendapatmu ???

Ada jeda menghening kuasai alam pijakan kami
melahirkan aura berpikir pada yang hadir
'Rahib muda itu mau apa
dengan bongkah cemerlang itu ?'
'Ia hendak menguasai kita !'
'Pakaiannya saja putih, tapi hatinya ?'
'Sanggupkah ia memelihara itu ?'
'Ah ternyata ia punya nafsu juga
untuk memiliki sesuatu,
sudah lupakah dia akan janji kemelaratannya ?'
'Mungkin ia seorang dewa.'
'Mungkin juga tetengik yang berlagak dewa.'
'Mengapa kita tidak segera melenyapkannya ?'
'Kita lihat saja, apa yang akan dilakukannya
dengan bongkah hati itu.'

Suara-suara sumbang itu terus membahana
tapi aku tetap mencoba tegakkan kaki
keyakinanku telah bulat
bahwa bongkah hati ini
dikirim oleh Yang Cinta untukku

Wahai manusia-manusia berbudi
jangan menangis bila sekiranya
Tuhan suatu hari menolakmu
dengan berkata 'Aku tidak mengenalmu'
Kalian diberi budi yang luhur
mengapa hanya kalian gunakan
untuk memikirkan sebuah memory?
Buka matamu lebar-lebar
buka telingamu lebar-lebar
buka hatimu lebar-lebar

Tuhan memberimu budi yang tinggi
bukan untuk memikirkan memory-memory
bukan untuk membangun
tembok-tembok tradisi priyayi
bukan untuk membelenggu rasa ilahimu
bukan, sekali lagi kukatakan: bukan !
Dia ingin dengan budimu
kau selalu memiliki hidup yang baru
Dia ingin dengan budimu
kau selalu siap mencintai
Dia ingin dengan budimu
kau selalu punya sikap mengampuni
Bongkah hati yang ada di tanganku ini
akan mengajari kita
bagaimana memiliki hidup yang baru
akan memampukan kita
selalu memiliki kesiapsediaan dalam mencintai
akan memberi contoh kepada kita
bagaiman memiliki
hati yang tak pernah lelah memberi ampun
Ada yang ingin melempar sebuah tanya ?

Bulan yang selama aku bicara
bersembunyi di balik mega tipis
tiba-tiba memperlihatkan cahya senyumnya
Aku pandangi setiap wajah yang mengelilingi
kucari di sana batin yang percaya
kutemukan sejumlah jemariku
itupun amat samar
akibat kekerasan kepala ?
akibat kepicikan budi ?
akibat tiadanya cinta ?
karena terlalu lama mereka hidup dalam ketakutan ?
karena terlalu lama mereka dikebiri kreativitasnya ?
atau karena terlalu lama
mereka hidup dalam kotak biokrasi ?
hingga segala sesuatu mesti diberitahu
hingga segala sesuatu mesti diberi contoh
hingga segala sesuatu mesti diatur

Angin lembah mulai ikut berbicara
sementara kerumunan itu menjauhiku
dengan aneka warna melukisi wajahnya
hingga akhirnya
kudapati diriku hanya bersama
sebongkah hati yang amat kemilau itu

Wahai engkau yang dikirim oleh Yang Cinta padaku
jadilah kau kini sahabat terbaikku
Ibu saat aku binggung menentukan gerak hati
bapak saat aku ragu menentukan pilihan budi
Kakak saat aku cemas menentukan sikap hidup
Adiek saat aku kehilangan jiwa yang bersuka
Malaikat saat aku berjuang
memelihara niat-niat suciku

Alia, bongkah hati yang kini selalu ada bersamaku
bersuka citalah karena semuanya ini
aku mau kau tembangkan seribu lagu
yang bisa menunjukkan padaku
bahwa kau bahagia karenanya

AKU DAN DIA

Dermaga itu tlah tertangkap oleh mataku
dan ayunan langkah diri
mempercepat tak hanya detak nadi
tapi juga derasnya air mata
menambah tak hanya kecemasan hati
tapi juga bayangan hari-hari penuh rindu

Hidup memang mengalir, teman
jangan kau coba untuk menghentikannya
berubah itu penting, kawan
jangan kau coba untuk menolaknya
bahana kalimat itu
kembali mendengung-dengung dalam telingaku
aku tahu dan bisa mengerti, sobat,
tapi hanya sebatas itu !

Saat bibir kita masih saling menjaga
keheningan palsu
kita sudah ada di dekat perahu kecil
yang telah siap membawaku pergi
tunaikan tugas baru dari Sang Ilahi
yang telah siap memisahkan diriku
dari pandangan insanimu
yang telah siap menciptakan pada hatimu
kuncup-kuncup rindu
yang menanti kecupan sebuah kehadiran
Kubiarkan mataku menatapi seluruh bongkah itu
dan bongkah itu membiarkan ditelanjangi
kusimpan hasil pengamatan itu baik-baik
agar bila kangenku datang
aku masih memiliki file-file tentang pesonamu

Teman dalam perjalanan,
aku mulai membilang huruf-huruf
saatnya telah tiba
kehadiranmu dalam hidupku
adalah sebuah kepenuhan
tapi tidak demikian untukmu
dia yang akan datang setelah aku
adalah sebuah kepenuhan bagimu
Jangan bandingkan aku dengan dia
itu membuatmu tak berani melangkah
Jangan pasang ukuran 'seperti aku'
itu membuatmu tak menemukan kebahagiaan
Jangan terakan dalam batinmu
'aku tak bisa berbuat itu'

Teman dalam perjalanan
aku mulai menyusun kata-kata
saatnya telah tiba kau tak tergantikan
oleh apa dan siapapun
tapi aku tak berhak memilikimu
ku akan terus, terus, dan terus
menyayangi dan mencintaimu
meski aku tak lagi ada bersamamu

Teman dalam perjalanan
aku mulai menyusun kalimat-kalimat
saatku dan saatmu telah tiba
rentang jarak ini tak lagi bisa tertunda
juga kesetiaan yang menjembataninya
keberangkatan ini tak lagi bisa batal
juga janji setia di hati kita
menanti itu menggelisahkan
bila hal itu tak ada kejelasan sama sekali
karenanya jangan menanti
tapi berdoalah !
Kutarik lebih dekat bongkah hati
kubaringkan dalam kehangatan pelukanku
dan kubiarkan bibirku mengecupi wajahnya
Aku menyayangimu dan akan terus demikian
Biarkan tetes matamu jatuh
jangan halangi
Selamat tinggal, teman
semoga masih ada dunia
yang masih memberi kepada kita
aneka bentuk perjumpaan

Thursday, October 14, 2010

SUATU AKHIR DARI AWAL

Rosalia Dini Ristikaningrum,
sebuah rembulan di antara lubang-lubang awan.
Aku tak bisa lagi membayangkan
bagaimana keadaanmu sekarang.
Jeda ruang dan waktu yang hadir
di antara aku dan kamu,
terlalu panjang.
Alia, dipenggal sebuah Oktober ini,
entah mengapa tiba-tiba aku ingin mengirimimu
celoteh pengembaraanku selama ini.

Aku berlari.......
berlari dan berlari,
membawa sekeping hati.
Ada penggalan nama indahmu,
yang makin samar,
tapi tetap menyimpan kekuatan,
yang tetap bermakna mendalam
bagi detik hari-hariku,
yang berziarah 'tuk raih
sekeping piala dan patena
berisi darah dan roti
Pahlawan Abadi.

Aku terus berlari,
dan berlari.
Sesekali gundah itu merengek-rengek,
bagai bayi kehilangan punting ibunya.
Sesekali resah itu meminta perhatian,
bagai si Betty piaraan tetangga depan.
Sesekali lelah itu mencari manja,
bagai insan rapuh di hadapan Pangerannya.
Sesekali sepi itu meronta-ronta,
bagai pelacur ditindih nafsu Sang Malam.
Sesekali kesal itu menyuburkan diri,
tapi tak juga pernah mencapai.

Malam ini,
kupeluk penggalan itu,
kudekap erat,
bagai dekapan sepasang insan di sebuah stasiun,
sambil membatin pedih.
Akan hilangkah ?!
Akan matikah ?!
Adakah hari inkarnasi itu akan bangkit lagi ?!
membawa Yerusalem baru,
membangun Sion yang telah poranda
oleh kesombongan.

Malam ini,
keheningan menjadi sangat karib
kondisikan mesin memoriku
melayarkan kembali apa yang pernah ada
yang pernah terjalin apik
Apakah diam telah memberimu kekayaan ?!
Apakah bisu telah memberimu harta baru ?!
Ataukah diam itu memendam pedih yang terpilu ?!
Ataukah bisu itu hanya membrongsong luka hati ?!

Saat batin sampai pada pertanyaan itu,
muncul barisan huruf memintalnya,
hingga lahir kata cinta,
Oh !
Cinta yang pernah aku teguk
dalam kehangatan barisan tinta
telah lama tercampak
dalam ketidakpedulian rasa.
Cinta yang punya sumber esa itu
mesti relakan diri
ditafsirkan dalam aneka warna
sesuka diri bagai kanak-kanak
yang tak pernah mengerti kesulitan orang tuanya,
ia merengek dan merengek.

Mengapa yang indah itu,
mesti berakhir dalam sebuah pengetahuan tafsir ?
Mengapa yang manis itu,
harus berujung dalam sebuah prasangka ?!
Mengapa yang putih suci,
musti jatuh pada muara tradisi priyayi ?!
tlah terpurukkah bijaksana itu ?!
tlah pergikah kesatria itu ?!
tlah bosankah mawar itu tersenyum?!

Penggalan nama itu,
kini basah oleh kesedihan yang mendalam
dan kering lagi oleh hati Getsemani yang senja.
Akankah keabadian ini pudar,
oleh keangkuhan masing-masing ?!

Aku terus berlari
dan berlari
sementara Yesus terus menyuplai
tekad dan semangatku.
Kutanyakan kepada-Nya,
bolehkah penggalan itu tetap kubawa ?!
Dia tersenyum,
sebuah senyum yang sangat bersahabat,
sebuah senyum yang mengandung pemahaman,
dan melahirkan pengertian,
sebuah senyum yang berisi bait-bait cinta.
Itukah satu-satunya hartamu ?!
bukan !
Ini sisi lain hatiku.
penggalan itu kini bukan lagi sesuatu yang asing,
bukan sebuah tempelan kemudian,
penggalan itu akan menyusup dalam ragamu,
akan melebur dalam jiwamu,
akan menyatu dalam angan, rasa, dan budimu,
akan menjadi bagian hidupmu.

Sahabat,
kalau aku masih boleh memanggilmu demikian,
Tiada maksudku mengganggu saat-saat tapamu.
Aku cuma ingin memastikan diri,
Tlah pergikah engkau selamanya ?!
dan tiada jadual lagi untuk bermudik ?!

Saudara,
kalau aku masih boleh menyapamu demikian,
Tiada maksudku memporandakan
ketentraman rasa-budimu.
Aku cuma ingin bertanya,
Telah berakhirkah piranti musim semi ini ?!
atau, ini hanya akhir dari suatu awal ?!

Asal kau tahu,
kerinduan ini,
memperpanjang langkah kepedihanku,
memperkencang tapak-tapak pelarianku,
mengurai balutan luka yang memilu,
dan memaksa tangan mengetuk-ketuk dada,
sebelum akhirnya menuliskan
semua yang telah selesai kau baca.
Kumau kau perdengarkan
celoteh rasa-budimu padaku.