Hal-hal sepele membuat kesempurnaan, dan kesempurnaan bukanlah hal sepele

Thursday, October 14, 2010

SUATU AKHIR DARI AWAL

Rosalia Dini Ristikaningrum,
sebuah rembulan di antara lubang-lubang awan.
Aku tak bisa lagi membayangkan
bagaimana keadaanmu sekarang.
Jeda ruang dan waktu yang hadir
di antara aku dan kamu,
terlalu panjang.
Alia, dipenggal sebuah Oktober ini,
entah mengapa tiba-tiba aku ingin mengirimimu
celoteh pengembaraanku selama ini.

Aku berlari.......
berlari dan berlari,
membawa sekeping hati.
Ada penggalan nama indahmu,
yang makin samar,
tapi tetap menyimpan kekuatan,
yang tetap bermakna mendalam
bagi detik hari-hariku,
yang berziarah 'tuk raih
sekeping piala dan patena
berisi darah dan roti
Pahlawan Abadi.

Aku terus berlari,
dan berlari.
Sesekali gundah itu merengek-rengek,
bagai bayi kehilangan punting ibunya.
Sesekali resah itu meminta perhatian,
bagai si Betty piaraan tetangga depan.
Sesekali lelah itu mencari manja,
bagai insan rapuh di hadapan Pangerannya.
Sesekali sepi itu meronta-ronta,
bagai pelacur ditindih nafsu Sang Malam.
Sesekali kesal itu menyuburkan diri,
tapi tak juga pernah mencapai.

Malam ini,
kupeluk penggalan itu,
kudekap erat,
bagai dekapan sepasang insan di sebuah stasiun,
sambil membatin pedih.
Akan hilangkah ?!
Akan matikah ?!
Adakah hari inkarnasi itu akan bangkit lagi ?!
membawa Yerusalem baru,
membangun Sion yang telah poranda
oleh kesombongan.

Malam ini,
keheningan menjadi sangat karib
kondisikan mesin memoriku
melayarkan kembali apa yang pernah ada
yang pernah terjalin apik
Apakah diam telah memberimu kekayaan ?!
Apakah bisu telah memberimu harta baru ?!
Ataukah diam itu memendam pedih yang terpilu ?!
Ataukah bisu itu hanya membrongsong luka hati ?!

Saat batin sampai pada pertanyaan itu,
muncul barisan huruf memintalnya,
hingga lahir kata cinta,
Oh !
Cinta yang pernah aku teguk
dalam kehangatan barisan tinta
telah lama tercampak
dalam ketidakpedulian rasa.
Cinta yang punya sumber esa itu
mesti relakan diri
ditafsirkan dalam aneka warna
sesuka diri bagai kanak-kanak
yang tak pernah mengerti kesulitan orang tuanya,
ia merengek dan merengek.

Mengapa yang indah itu,
mesti berakhir dalam sebuah pengetahuan tafsir ?
Mengapa yang manis itu,
harus berujung dalam sebuah prasangka ?!
Mengapa yang putih suci,
musti jatuh pada muara tradisi priyayi ?!
tlah terpurukkah bijaksana itu ?!
tlah pergikah kesatria itu ?!
tlah bosankah mawar itu tersenyum?!

Penggalan nama itu,
kini basah oleh kesedihan yang mendalam
dan kering lagi oleh hati Getsemani yang senja.
Akankah keabadian ini pudar,
oleh keangkuhan masing-masing ?!

Aku terus berlari
dan berlari
sementara Yesus terus menyuplai
tekad dan semangatku.
Kutanyakan kepada-Nya,
bolehkah penggalan itu tetap kubawa ?!
Dia tersenyum,
sebuah senyum yang sangat bersahabat,
sebuah senyum yang mengandung pemahaman,
dan melahirkan pengertian,
sebuah senyum yang berisi bait-bait cinta.
Itukah satu-satunya hartamu ?!
bukan !
Ini sisi lain hatiku.
penggalan itu kini bukan lagi sesuatu yang asing,
bukan sebuah tempelan kemudian,
penggalan itu akan menyusup dalam ragamu,
akan melebur dalam jiwamu,
akan menyatu dalam angan, rasa, dan budimu,
akan menjadi bagian hidupmu.

Sahabat,
kalau aku masih boleh memanggilmu demikian,
Tiada maksudku mengganggu saat-saat tapamu.
Aku cuma ingin memastikan diri,
Tlah pergikah engkau selamanya ?!
dan tiada jadual lagi untuk bermudik ?!

Saudara,
kalau aku masih boleh menyapamu demikian,
Tiada maksudku memporandakan
ketentraman rasa-budimu.
Aku cuma ingin bertanya,
Telah berakhirkah piranti musim semi ini ?!
atau, ini hanya akhir dari suatu awal ?!

Asal kau tahu,
kerinduan ini,
memperpanjang langkah kepedihanku,
memperkencang tapak-tapak pelarianku,
mengurai balutan luka yang memilu,
dan memaksa tangan mengetuk-ketuk dada,
sebelum akhirnya menuliskan
semua yang telah selesai kau baca.
Kumau kau perdengarkan
celoteh rasa-budimu padaku.

No comments: