Hal-hal sepele membuat kesempurnaan, dan kesempurnaan bukanlah hal sepele

Tuesday, October 19, 2010

PULAU GANJIL

Rosalia Dini Ristikaningrum,
sebuah oase di antara tembok-tembok gurun.
Ini kali kedua aku kirimi kau
buah pengembaraan yang tak juga selesai.

Di jalan kembara ini,
aku terdampar,
di sebuah tempat,

sebuah tempat yang ganjil.
Bagaimana aku mesti jelaskan
keganjilan ini ?!
bagai sebuah restoran,
yang dibangun dengan bangga
di antara warung tegal.
bagai sebuah pasar swalayan,
yang berdiri dengan angkuh,
di antara istana para gelandangan.
bagai sebuah pulau,
yang dihuni manusia modern,
yang hidup di antara bayang masa lalu.


Terdampar di pulau ganjil ini,
membangkitkan ingatanku padamu.
Sosok yang laksana,
sebuah diri yang berbeda dari kebanyakan,
sebuah lingkaran
hasil paduan garis-garis lurus,
sebuah pecahan ombak
yang menyentuh kaki-kaki tembok kota,
sebuah nyanyian yang lahir
dari bibir-bibir yang diam,
sebuah Daud yang menang atas Goliat.

Itukah yang membuat sampai saat ini,
jiwaku tak lelah sebut namamu,
anganku tak jemu membayangkanmu,
budiku tak bosan memikirkanmu.
Itukah yang membuat sampai saat ini,
tak pernah bermimpi,
bahwa suatu saat aku sendiri.
tak pernah ber-angan,
bahwa suatu ketika aku kesepian,
bahkan, tak pernah berharap,
bahwa suatu nanti aku mati.

Terdampar di jalan-jalan pulau ganjil ini,
aku saksikan realitas tanpa logika.
bagaimana tidak ?!
Penghuninya hidup
bagai di sebuah padepokan,
dipimpin oleh seorang perempuan,
dibantu oleh enam tetua,
semuanya perempuan.

Pimpinan itu punya usia lebih muda,
dibanding enam yang lain.
Nampaknya ia dipilih,
karena kepintarannya memikirkan hidup,
bukan karena kepiawaiannya mengolah hidup.
Rupanya ia dipilih,
karena ketegasan otaknya,
bukan karena kehangatan cintanya.

Perempuan seperti itu,
tak pernah aku jumpai ada di negeri kita.
Ia nyaris tak berperasaan.
meski tiap omongannya
menekankan 'pakai rasa-mu'.
Penuh hari-harinya
dengan pergulatan logika tanpa henti
hingga ia lebih terkenal,
karena kepandaiannya,
ketimbang kebijaksanaannya.

Perempuan seperti itu
tak pernah aku jumpai ada di negeri kita.
Ia keras laksana padas pegunungan
yang tak lapuk oleh gada para dewa.
Ia panas laksana api Gomora,
bila panasnya menaik,
pulau itu bagai sebuah babi panggang.

Tiada kelembutan tergambar pada matanya,
sorotnya bagai papan bertuliskan,
'kau lemah-tak berguna enyah dari hadapanku'.
Ingatannya akan kesalahan para hambanya,
mengundang decak kekaguman,
mirip sebuah mesin komputer.

Aku bertanya pada beberapa orang
yang kebetulan aku jumpai.
Bahagiakah negeri ini ?!
Masih berlakukah hal itu untuk kami ?!
Tiadakah yang melawannya ?!
Masih berlakukah sebuah perjuangan ?!
Mengapa tidak ?!
Kami telah menganggapnya mati,
meski dia nyata-nyata masih hidup,
meski kami tahu,
andai dia tahu pikiran kami,
cemeti ucapannya adalah sebuah ganjaran.
Tiadakah yang melarikan diri ?!
Masihkah hal itu berguna bagi kami ?!
mengapa tidak ?!
Kami tak pernah mengangkatnya
menjadi pemimpin atas diri kami
Kami hidup bukan oleh perintah-perintahnya,
dan tak akan mati oleh tuntutan-tuntutannya.
meski kami tahu,
andai dia mendengar ucapan ini,
siksa kerja paksa
menjadi nyanyian hari-hari kami.

Kawan orang itu mendekatiku,
menarikku jauh dari orang yang kutanyai,
kubiarkan tubuhku dibawanya.

Perempuan itu sebenarnya baik,
ia mulai berkata,
dia tak pernah membunuh rakyatnya,
kalau rakyatnya membuat dosa padanya,
dia akan mengucap kata-kata demikian:
'sebenarnya hari ini
adalah peringatan seratus harimu'
Perempuan itu sebenarnya tegas,
lanjutnya.....
dia tak pernah memvonis rakyatnya,
kalau rakyatnya membuat dosa padanya,
dia hanya mengucap kata-kata demikian:
'kamu benalu bagi negeri ini'

Saudara,
tiadakah di sini angin pembaharuan ?!
Kami mengenal itu,
bahkan kalau tidak salah,
angin itu produk pulau ini,
sayang kami tak pernah merasakannya.

Tiba-tiba kudengar ada orang berteriak-teriak
'perempuan itu terlalu pandai untuk dikalahkan'
'kami masih memerlukan
maka tidak kami bunuh'
'kami masih mengharapkan dia bisa bertobat'
'Saudara bermimpi’, spontan aku berteriak
'bukan, kami bukan bermimpi.
pulau ini tak mengenal istirahat'

Ada hening menjeda ruang kelahi kami.
'meski dia arsitek pembaharuan,
tapi itu berasal dari masa lalu,
dari file-file yang mestinya sudah dirombengkan',
katanya dengan kejengkelan yang hampir
tak terdengar.

Pernah suatu ketika,
ada petani yang digiring ke penjara,
akibat salah menaburkan pupuk
Petani itu sesambat-melas,
'Ratu, beri hamba sedikit waktu'
'Kau, tak mungkin bisa berubah,
andai bisa,
paling-paling hanya nol koma nol sekian'
Pernah juga suatu waktu,
ada kawannya mencoba memberi pembelaan
'Ratu, dengarkan perkataan kami'
'Jangan libatkan relasi baikmu dalam masalah ini'

Sahabat, meninggalkan pulau ganjil ini,
ada secuil harap bagi negeri tercinta,
semoga dalam negeri kita,
Tuhan tak pernah merencanakan
akan lahir seorang ratu yang demikian.

Sahabat, melangkah jauhi pulau ganjil ini,
ada sungai mengalir dari belahan mataku
sungai yang berwarna kepedihan yang menyayat,
'penjaga hidup itu, kini berbaju serigala'
'pemelihara sorga itu,
kini membawa bola-bola neraka'
'penghibur jiwa itu,
kini terus mendendangkan nyanyian kematian'
'penghadir cinta itu, kini bermahkotakan maut.
'pengganti Tuhan itu, kini berkarib
dengan penghuni alam pengap'

Sahabat, menjarak dari pulau ganjil ini,
tiba-tiba aku ingat akan penggalan kata-katamu,
yang kau ucap untukku di sebuah suratmu.
'hidup itu punya dua sisi,
bukan untuk menjaga keseimbangan,
tapi untuk melatih orang,
menjadi bijaksana.
hidup itu punya banyak variasi,
bukan untuk sekedar memberi warna,
tapi untuk melatih orang,
piawai dalam mencinta.

Menyeberang jauh dari pulau ganjil ini,
aku menenteng sebuah tanya:
'Apakah ini keinginan Tuhan juga ?!'
atau.......
'gelora nafsu sebuah setan yang menyebut diri
sebagai wakil Tuhan ?!'

Kumau kau nyannyikan sajak-sajak rindu,
agar aku merasakan kehadiranmu,
dipanjangnya jalan kembara ini.

No comments: