pagi
setengah siang itu,
dering
telpon memecah kebisuan hariku
tanganku asal
mengangkat
dan dari
gagang telpon yang nempel di telingaku
terdengar
suara yang tak lagi asing bagiku
‘kamu ke
mana aja?
kutelpon
berkali-kali tapi selalu enggak ada
sengaja
menghindar ya?
apa sudah
ada perkembangan dengan lamaranmu?’
semua itu
kurasakan
bagaikan
hujan peluru
beruntun
tanpa sela
aku jengkel
tapi kutahan
aku marah
tapi kutahu
itu tak ada gunanya
ketika
dengan amat malas kujawab
‘sedikit’
eh tak
dinyana-nyana serentetan kalimat
kembali menghujam
di telinga pendengaranku
‘mengapa
kamu tak memberitahukannya?
aku jadi
lelah berdoa untukmu
aku tak tahu
apakah kamu memang benar-benar
ingin
melanjutkan’
entah
mengapa, tiba-tiba darah pemberontakkanku
menyeruak di
kisi-kisi hatiku
menggelegar
mencari celah untuk meledak
‘kawan,
sudah lupakah engkau akan dirimu?
siapakah engkau
bagiku?
kita memang
pernah bertemu
tapi itu tak
pernah boleh mengikat kita
untuk bebas
melanjutkan perjalanan kita
apakah
engkau lupa bahwa kita
tak boleh
terikat oleh apapun
agar seluruh
diri kita bisa diikatkan pada Allah?
Kawan, kau
katakan
engkau telah
mulai lelah mendoakanku
aku tak
keberatan dengan situasimu
karena
setiap peristiwa dalam hidupku
mengajarkan
padaku
bahwa akan
tiba saatnya di mana
semua yang
terasa nyaman dicabut dari padaku
agar aku
bisa secara utuh
merasakan
dikenyangkan oleh kenyamanan ilahi
larilah saja
dari padaku
aku tak akan
mengejarmu
sebab aku
yakin kalau ini terjadi atas hidupku
pasti itu
sepengetahuan
rencana
indahNya buat hidupku
No comments:
Post a Comment